CONTENT

31 Oktober 2008

ISLAMISASI PENGETAHUAN (Kajian Terhadap Islamizing Curricula Al Faruqi)

ISLAMISASI PENGETAHUAN: Solusi Alternatif Nestapa Kemanusiaan?
(Kajian Terhadap Islamizing Curricula Al Faruqi)


Abstract
The World is in a deep endless sorrow. Faced with so many problems of life, people dehumanize or being dehumanized

Key Words : Islam, Pengetahuan, Kemanusiaan


A. Nestapa Kemanusiaan
Manusia modern mernang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al-Qur’an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya:

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain[*]. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.
[*] Kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu telah Mengadakan Perjanjian yang kuat dengan Nabi di waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah keinginan mereka untuk membatalkan Perjanjian dengan Nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t. (QS. 16:92)

Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagal fungsi kontrol dan terpasung datam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation .
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Pengamatan para sosiolog tersebutjuga disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
Illustrasi krisis kemanusiaan modem ini dapat dicermati dari pelbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya pelbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu tetjadinya sebagaian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompolc sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan raslo atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.

Peristiwa yang lain yang merupakan ironi rnanusia modern adalah keyakinan bahwa hidup berdampingan dengan rukun Iebih baik daripada hidup bermusuhan, namun mereka memilih atau kadang terpaksa memilih hidup gelisah dengan permusuhan. Contoh paling kontemporer adalah Presiden Goerge W. Bush memilih ‘gelisah’ dengan memilih perang, dengan biaya nilai-nilai kemanusiaan yang begitu mahal, daripada menyelesaikan permasalahan di meja perundingan (diplomasi).

Shariati berpendapat bahwa krisis kemanusiaan manusia modern berakar pada dimensi sistem kemasyarakatan dan ideologi dan kebudayaan modern yang kini dominan di hampir setiap penjuru dunia. Suatu sistem kehidupan yang serba saling bertentangan di dalam dirinya dan mengabaikan jati diri manusia. Pusat petaka itu adalah kebudayaan materi dalam alam pikiran Humanisme-antroposentris, yang menafikan kehadiran agama, yang Lahir di saat awal kemunduran kebudayaan Islam dan masa Renaissance di Eropa Barat.

Perkembangan aliran Humanisme-antroposentri ini sangat kuat, terutama dalam perlawanannya terhadap pikiran teosentris. Sehingga terdapat kemungkinan adanya suatu pengaruh antitesis secara ekstrim yang mengakibatkan perkembangan humanisme-antroposentris ini sangat menolak paham teosentris. Nilai-nilai seperti individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan adalah mainstream paham ini.
Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagal konsekuensi logisnya. Dan, di saat itu umat muslim dalam masa kemunduran yang menelan mentah-metah peradaban yang dibangun dengan pondasi antitesis terhadap aliran yang bermuara pada Tuhan, agama atau supranatural.

Krisis kemanusiaan modern ini dikritik oleh banyak pemikir yang kemudian memunculkan aliran Postmodernisme. Posmodernisme menawarkan pikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran dan lokalitas. Hanya saja, aliran ini ternyata walaupun mengusung pluralitas namun toleransi terhadap pendukung posmodernisme yang berbasic agama dirasakan kurang memberi tempat. Sehingga posmodernisme juga dipandang sebagai aliran yang tidak memiliki persingungan dengan spiritualitas dan moralitas. Secara lugas, Ahmed menilai bahwa Postmodernisme belum cukup berkesan di mata kaum muslim.

Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modemisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.

Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa penetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dan aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.

Dalan konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak mengacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.

Kecermatan dan daya analisis al Faruqi dalam usaha keluar dari Iingkaran krisis kemanusiaan akan dibahas dalam tulisan ini. Seberapa efektif konsep-konsep dan metodologi Islamisasi pengetahuan al Faruqi ini mampu menyumbangkan usaha keluar dan krisis kemanusiaan, terutama dalam bidang pendidikan dengan gagasan islamazing curricula-nya?


Lihat lengkapnya disini

0 komentar: